Rabu, 17 Februari 2010

Warga: Dinkes Omong Doang!

Selain Gatal-gatal, Korban Banjir Terancam Leptopirosis

Apriyadi Hidayat

Beji | Jurnal Depok

Warga korban banjir yang menimpa 15 rumah di Kampung Gotong Royong RT 05 / RW 14, Kemiri Muka, Beji, Kota Depok mengaku tidak mendapatkan perhatian lantaran bantuan yang diharapkan tak kunjung datang, termasuk dari Dinas Kesehatan Kota Depok.

Padahal, selain diserang penyakit gatal-gatal, kini korban banjir diancam penyakit baru, yaitu leptospirosis, penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira yang menyerang hewan dan manusia. Bakteri ini berbentuk spiral dan dapat hidup di dalam air tawar selama lebih kurang satu bulan. Tapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

Gejala klinis leptopirosis, antara lain demam tinggi, menggigil, sakit kepala, malaise (lesu/lemah), muntah, konjungtivitis (radang mata), rasa nyeri otot betis dan punggung. Gejala-gejala ini akan tampak antara 4–9 hari. Nah, pastinya jika warga mendapati ada orang yang memiliki gejala seperti itu perlu waspada dan segera bawa ke Puskesmas atau rumahsakit terdekat.

Pasalnya, dampak dari penyakit tersebut bisa menimbulkan kekuningan yang terjadi pada hari ke-4 dan ke-6, gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian, berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas, perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata ( konjungtiva ), keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

“Sebagian gejala leptopirosis itu sudah kami rasakan, seperti demam, pusing, batuk pilek, dan diare,” ungkap Ani Haryati (30), ibu RT 05/RW 14 Kemiri Muka, Beji, Kota Depok, kemarin. Ani dan korban banjir lainnya seharusnya tersenyum, karena tim medis dari Dinas Kesehatan Kota Depok berencana memberikan bantuan kepada warga setempat paska banjir yang melanda Jumat (12/2). Namun kenyataan berkata lain. Warga merasa kecewa untuk yang kedua kalinya.

“Katanya, Dinkes mau datang dan ngasih bantuan ke warga sini. Setelah kami tunggu ternyata nggak ada sama sekali bantuannya. Yang datang dari Dinkes cuma dua orang, terus mereka foto-foto saja,” ungkap Ani yang menerima langsung utusan Dinkes itu.

Memang tidak menyinggung masalah penyakit pada warga? “Ngomong sih ngomong. Kata dia (Dinkes, red), yang sakit bawa saja ke Puskesmas Kemiri Muka. Gratis kok, bu. Itu mah sama juga bohong, kami harus ngantre dan bayar registrasi 2.000 perak. Kami inginnya, Dinkes buka posko kesehatan di lingkungan kami untuk memudahkan warga yang memeriksakan kesehatan,” jelasnya.

Seperti diberitakan Jurnal Depok, Senin (15/2), kawasan yang digenangi luapan air Sungai Ciliwung itu memang telah surut, namun masalah baru mulai menghampiri warga, seperti kesulitan air bersih, air minum, dan makanan. Warga juga dijangkiti penyakit pusing-pusing dan gatal-gatal, terutama pada kaki.

“Malah sekarang tambah diare dan batuk pilek pada anak-anak,” imbuh Ani kepada Jurnal Depok, Senin (15/2). Salah seorang ibu lainnya menimpali, “Saya juga salah satu warga yang sakit hati, karena sejak banjir 2007, korban bajir tidak pernah diperhatikan secara khusus. Mereka memang tidak merasa, tapi kami yang merasa sakit,” ungkap Suryati (42) dengan nada emosi.

Sakit hati Suryati memang bukan tanpa alasan. Paska banjir yang menimpa pada 2007 silam, rumah Suryati tersapu habis dan hanya menyisakan pondasi saja. “Sampai sendok pun tidak tersisa. Dan bantuan juga nggak nongol-nongol. Makanya, saya suka kesel dan sakit hati kalau sudah mendengar kata-kata dana bantuan banjir. Itu semua omong kosong,” kisahnya.

Suryati menambahkan, ketika dilanda banjir pada 2007, para warga sekitar tidak merasakan lapar dan kekurangan. Karena bantuan terus mengalir. “Soalnya waktu itu pas mau Pemilu. Jadi banyak partai yang datang ke lokasi. Tapi sekarang nggak ada sama sekali. Cuma ada maunya saja kalau datang. Sekarang warga serba kekurangan,” katanya.

Salah Siapa?

Apakah warga yang salah karena mendirikan bantuan di bantaran sungai? Atau Pemerintah yang tidak tegas dalam pemberian izin bangunan? Pertanyaan itulah yang kemudian muncul dan membuat tanda tanya besar.

“Kami beli tanah dan rumah ini bersertifikat mas. Masa mau menyalahkan kami. Kalau memang ini kawasan terlarang, kenapa diterbitkan sertifikat?,” kata Ani yang sudah tinggal lebih dari 6 tahun itu. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar